fotoku

fotoku

Jumat, 16 September 2011

Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana Di Indonesia


 Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan
memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang
mayoritas           
tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di
wilayah
adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Pemisahan yang
tegas
antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang
bersifat
publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan seharihari
masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan
secara
turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya
adalah
bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam
sebuah
peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini
dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadangkadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di
beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang
berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat

 a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun
1602-
1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan
diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde
Oost
Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda
yang
diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah
Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang
meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi
bahwa
VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam
usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan
aturanaturan
yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip.
Sesudah
diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan
sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku
dan
yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan
keinginan
VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan
peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta
Betawi)
yang dibuat pada tahun 1642.7
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan
Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik
bagi
orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta
tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat
disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC,
yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan
perkara
pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.8 Alasan VOC
mencampuri
urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
i)
sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak
memadai
untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturanperaturan;
ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat
bukti;
dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan
pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang
dibawa
VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum
pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut
pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu
dipidana yang setimpal.9
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah
terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam
peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem
pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain
sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab
Hukum
Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.10
Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische
Compagnie
dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah
Nusantara
digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap
sebagai
gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara
tidak
mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah
berlaku.
Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda
menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan
terhadap
koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak,
bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD
Negeri
Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas
daerahdaerah
jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu
menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah
konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat
komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan
di
Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan
Van
dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang
yang
berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan
peraturan
karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk
mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang
menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).11
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering
(BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana
ditetapkan
pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO)
atau
Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van
Wetgeving
(AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan,
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau
Peraturan
tentang Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem
pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi
monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan
adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini
mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena
parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan
prundangundangan
di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah
dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta
kerajaan di
bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan
melalui
undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar